Asian Youth Academy Forum, Melihat Kembali Pergolakan Iman dalam Pusaran Modernitas

Forum Asian Youth Academy Tahun 2025 berlangsung di Yogyakarta dan dihadiri mahasiswa-mahasiswa dari berbagai negara - Foto: Pribadi
Sejak 16 Agustus 2025, Yogyakarta menjadi ruang perjumpaan lintas bangsa dan lintas iman yang luar biasa. Di kota yang penuh sejarah ini kami para mahasiswa Katolik Asia, berkumpul dalam Asian Youth Academy dan Asian Theology Forum (AYA–ATF) 2025, sebuah forum internasional yang berlangsung selama dua minggu penuh. Forum ini tidak hanya menghadirkan mahasiswa Katolik dari berbagai negara Asia Pasifik, tetapi juga mahasiswa dari latar belakang agama lain seperti Islam, Buddha, dan Konghucu. Kehadiran mereka memperkaya dinamika diskusi dan mempertegas bahwa perjuangan untuk keadilan, perdamaian, dan keberlanjutan dan bukan monopoli satu iman, melainkan panggilan bersama umat manusia terutama sebagai anak muda.
Sebagai Ketua Presidium PMKRI Cabang Jakarta Timur Santo Petrus Kanisius, sekaligus mahasiswa Hubungan Internasional saya merasa forum ini merupakan momentum penting bagi generasi kami untuk berbicara, mendengar, dan merumuskan gagasan kolektif. Dengan Tema besar forum, “Asian Christianity’s Critical Approach to COP 30, UN-led SDGs, and Religious Nationalism from the View of Peoples Caught in a Desperate Situation in Asia”, menantang kami untuk membaca tanda-tanda zaman bahwa bagaimana agama, politik, dan sistem global saling berinteraksi, dan apa peran mahasiswa dalam menjawabnya.
Sejak awal kegiatan forum ini sudah menegaskan bahwa ruang belajar tidak hanya dibatasi oleh dinding ruang seminar. Pada 17–19 Agustus, peserta diajak turun langsung ke lapangan melalui program exposure dan immersion. Kami mengunjungi komunitas lokal di sekitar Yogyakarta untuk mendengar cerita dan menyaksikan realitas yang kerap luput dari sorotan media maupun laporan statistik. Bagi saya pengalaman ini menjadi pengingat bahwa teori hubungan internasional, konsep pembangunan, dan narasi besar tentang demokrasi tidak akan pernah bermakna tanpa menyentuh kehidupan nyata masyarakat akar Rumput.
Diskusi akademik mulai mengemuka pada 20 Agustus, ketika Bernardus Sugiarto
dari Indonesia memaparkan bagaimana neoliberalisme telah menjerat mahasiswa
Asia ke dalam lingkaran pengangguran, persaingan tak sehat, dan kerja sementara
tanpa jaminan. Paparan itu disambut dengan refleksi mendalam tentang ajaran
Paus Fransiskus yang menegaskan perlunya membangun peradaban baru yang lebih
manusiawi. Saya menyaksikan bagaimana mahasiswa dari Filipina, Sri Lanka, vietnam
,laos, Korea Selatan, malysia hingga
Nepal , serilangka merasa senasib bahwa sistem ekonomi global yang sama telah melukai
generasi kami dengan wajah yang berbeda.
![]() |
| Para peserta di Forum Asian Youth Academy Tahun 2025 - Foto: Pribadi |
Lihat juga: Ketika Jogja Tak Selalu Istimewa
Pada 21 Agustus, diskusi bergeser ke evaluasi atas Sustainable Development Goals (SDGs). Anselmo Lee dari Korea Selatan mengajukan pertanyaan kritis: Apakah SDGs benar-benar bekerja di Asia menjelang 2030? Pertanyaan ini menggugah kesadaran kolektif. Banyak delegasi menegaskan bahwa agenda global ini, meski penuh janji, sering kali tidak membumi. Di beberapa negara SDGs dijadikan jargon politik tanpa implementasi nyata, sementara di tempat lain justru berhadapan dengan struktur ekonomi global yang menindas. Bagi saya sebagai mahasiswa Hubungan Internasional, diskusi ini memperlihatkan wajah asli dari tata dunia dimana idealisme global yang terus bersaing dengan kepentingan nasional dan korporasi besar.
Lalu Hari berikutnya pada 22 Agustus, forum
menghadirkan sesi yang fokus membahas tentang
pluralisme lintas agama. Fr. Johannes Hariyanto, SJ menekankan bagaimana
mahasiswa Katolik Asia bisa bekerja sama dengan komunitas agama lain untuk
membangun dunia yang lebih baik. Suasana forum hari itu sangat berkesan karena
di dalam ruangan, mahasiswa Katolik duduk berdampingan dengan mahasiswa Muslim,
Buddha, dan Konghucu. Diskusi mengalir tanpa sekat dan membuktikan bahwa
pluralisme bukan hanya konsep normatif, tetapi kenyataan yang harus
diperjuangkan melalui kerja sama nyata.
Salah satu elemen terpenting dari forum ini adalah sesi laporan negara (country reporting) yang dilakukan oleh setiap delegasi. Indonesia mendapat giliran pertama, dan kesempatan ini kami gunakan untuk mengangkat isu-isu yang sangat mendesak di tanah air. Kami memaparkan tentang masyarakat adat yang terus terpinggirkan oleh kebijakan pembangunan yang tidak adil. Kasus-kasus pertambangan yang merusak alam dan merampas ruang hidup komunitas lokal menjadi sorotan utama. Kami menjelaskan bagaimana eksploitasi sumber daya alam yang tidak hanya menghancurkan lingkungan, tetapi juga mengancam identitas budaya dan kelangsungan hidup masyarakat adat. Paparan ini memicu diskusi intens, karena banyak delegasi dari negara lain mengakui menghadapi persoalan serupa: benturan antara pembangunan ekonomi dan kelestarian lingkungan.
Setelah Indonesia, delegasi dari Malaysia,
Laos, Vietnam, Filipina, Sri Lanka, Nepal, hingga Korea Selatan menyampaikan
laporan mereka. Masing-masing menggambarkan tantangan unik mulai dari relasi antaragama di Malaysia, keterbatasan
demokrasi di Laos, kontrol negara atas kebebasan sipil di Vietnam, konflik
bersenjata di Mindanao, dampak panjang bom Paskah di Sri Lanka serta dinamika
pasca-monarki di Nepal, dan tekanan mental akibat kompetisi ekstrem di Korea
Selatan. Setiap laporan negara dilanjutkan dengan tanya jawab dan diskusi
kelompok serta refleksi bersama. Di sinilah forum benar-benar
hidup kami tidak hanya saling berbagi
informasi, tetapi juga saling memberi gagasan untuk mencari solusi.
Sebagai mahasiswa Hubungan Internasional saya melihat sesi ini sebagai praktik nyata dari diplomasi masyarakat sipil. Setiap delegasi tampil bukan sebagai wakil resmi pemerintah, melainkan sebagai suara rakyat, suara mahasiswa, dan suara komunitas. Forum ini membuktikan bahwa solidaritas bisa dibangun dari bawah, melalui dialog dan refleksi kritis. Hingga pertengahan forum, saya semakin yakin bahwa AYA–ATF 2025 bukan hanya sebuah konferensi, tetapi sebuah laboratorium solidaritas internasional.
Dari Yogyakarta mahasiswa Katolik Asia bersama sahabat-sahabat
dari berbagai agama belajar membaca luka dunia, menilai dengan nurani iman dan
akal sehat, lalu merumuskan tindakan yang berpihak pada keadilan dan
kemanusiaan. Asia memang sebuah mosaik kompleksitas penuh luka sekaligus harapan.
Namun dalam perjumpaan ini kami menemukan kekuatan baru bahwa generasi muda,
apa pun agamanya, dapat bersatu untuk membangun masa depan yang lebih adil,
damai, dan berkelanjutan. Dan bagi saya pribadi, pengalaman ini menegaskan
kembali pesan Paus Fransiskus yang bergema sepanjang forum: “Be the agent to
change the system.”
Religio Omnium Scientiarum Anima - Pro Ecclessia et Patria
Oleh: Emanuel Odo

Posting Komentar untuk "Asian Youth Academy Forum, Melihat Kembali Pergolakan Iman dalam Pusaran Modernitas"