Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ketika Jogja Tak Lagi Istimewa, Catatan Miris Seorang Mahasiswa


Tugu Jogja - Foto: Internet

Di Pedalaman Yogyakarta tepatnya di Dusun Kendal, Desa Melikan, Gunung Kidul - kisah ini bermula. Saya, Emanuel Odo, seorang mahasiswa Indonesia menuliskan catatan getir ini setelah tiga hari berada di Kendal, bersama kawan-kawan saya dari Jerman, Laos, Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Kami datang dengan semangat lintas bangsa, bukan untuk politik, bukan untuk propaganda, melainkan sekadar untuk belajar dari masyarakat penganut kepercayaan Kejawen Urip Sejati - sebuah komunitas yang menyimpan kekayaan budaya Nusantara yang tak ternilai. Tetapi Ironisnya, yang kami temukan bukanlah wajah ramah Indonesia yang selalu digembar-gemborkan di panggung internasional melainkan wajah curiga, represif, dan miskin kepercayaan diri. 

Kawan-kawan asing yang datang dengan dokumen lengkap, justru diperlakukan seakan-akan mereka mata-mata. Aktivitas kami dipagari hanya boleh berjalan sejauh lima puluh meter dari rumah. Kami ingin belajar bertani dilarang, kami ingin menghirup udara kebebasan pedesaan malah dijejali tatapan aparat yang datang silih berganti, seakan-akan kami sedang bersekongkol menjatuhkan negara. Miris. Sebagai mahasiswa Hubungan Internasional, saya melihat ironi ini dengan rasa malu sekaligus marah. Betapa naifnya pemerintah setempat dan aparat keamanan yang berpikir bahwa anak-anak muda asing ini datang untuk “agenda politik tersembunyi”. 

Tidakkah mereka sadar  bahwa dalam politik internasional citra sebuah negara bukan hanya dibangun lewat diplomasi resmi melainkan juga lewat pengalaman kecil seperti ini? Alih-alih menjadi duta tidak resmi yang mempromosikan Indonesia sebagai bangsa besar yang ramah dan terbuka tetapi kawan-kawan saya justru akan pulang membawa cerita horor bahwa Indonesia adalah negeri yang curiga pada tamunya sendiri  negeri yang masih takut pada keberagaman  negeri yang membiarkan masyarakat adatnya hidup dalam bayang-bayang intimidasi.

Saya jadi bertanya apakah pemerintah setempat sungguh paham arti soft power? Apakah mereka tahu bahwa yang kami lakukan di sini justru bagian dari diplomasi kultural yang memperkuat posisi Indonesia di mata dunia? Jika mereka tahu  mengapa memperlakukan kami seperti kriminal? Atau jangan-jangan, memang pemerintah kita terlalu nyaman memainkan peran sebagai “penjaga ketertiban” tanpa pernah benar-benar belajar apa arti kehormatan bangsa di mata global?


Emanuel Odo (hoodie kuning) bersama teman-teman di sela-sela kegiatan sempat didatangi aparat - Foto: Internal.

Lihat juga: Kemerdekaan Perempuan Indonesia

Usia 80 tahun kemerdekaan tampaknya hanya semu tatkala melihat mental sebagian aparat dan birokrat kita masih kolonial memandang rakyat sendiri dengan curiga dan memperlakukan tamu dengan pengawasan ketat. Bedanya  kini bukan lagi Belanda yang menindas, melainkan bangsa kita sendiri dengan dalih “keamanan”. Sebuah ironi yang menunjukkan betapa miskinnya imajinasi pemerintah kita tentang arti keamanan dan kemerdekaan. Sebab keamanan sejati bukanlah membatasi langkah orang asing, tetapi memastikan bahwa masyarakat adat dapat hidup tanpa rasa takut. Dan kemerdekaan sejati bukanlah sekadar menaikkan bendera tiap 17 Agustus, tetapi memberi ruang pada setiap keyakinan, setiap budaya, untuk hidup tanpa intimidasi.

Saya  meninggalkan desa ini dengan perasaan hancur membayangkan kawan-kawan saya dari Jerman, Laos, Vietnam, Malaysia, dan Filipina akan bercerita kepada komunitas mereka di tanah air. Tetapi alih-alih cerita tentang sawah hijau, keramahan masyarakat, atau kearifan lokal yang luhur, mereka akan bercerita tentang aparat bersenjata, tentang pengawasan ketat, tentang ketakutan yang menggelayut. Bahwa fenomena ini adalah bentuk nayata kegagalan diplomasi lokal dan ketika cerita itu menyebar, dunia tidak akan mengenal Indonesia sebagai negeri yang ramah, tetapi sebagai negeri yang paranoid.

Jika pemerintah setempat masih merasa bangga dengan cara ini  maka saya hanya bisa  mengatakan; "kalian mungkin berhasil menjaga kami agar tidak melangkah lebih dari lima puluh meter, tetapi kalian gagal menjaga kehormatan Indonesia yang melayang jauh ke luar negeri."

Saya hanya ingin menutup goresan ini dengan pertanyaan: apakah kita sungguh bangsa merdeka atau sekadar bangsa yang rajin merayakan kemerdekaan sementara jiwanya masih dijajah oleh ketakutan? Tuan yang di istana barangkali bisa menjawab. Sekian saja, dulu!


Religio Omnium Scientiarum Anima - Pro Ecclessia et Patria

Oleh : Emanuel Odo

Posting Komentar untuk "Ketika Jogja Tak Lagi Istimewa, Catatan Miris Seorang Mahasiswa"