Kemerdekaan Perempuan Indonesia, Apa Saja Mispersepsi Selama Ini?
![]() |
| Mantan Dubes RI untuk Ekuador Tahun 2016-202, Dieny Tjokro hadir sebagai pembicara di diskusi yang digelar PMKRI Cabang Jakarta Timur - Foto: Pribadi. |
Jakarta - Dalam rangka refleksi 80 tahun kemerdekaan Indonesia, PMKRI Cabang Jakarta Timur menggelar seminar bertajuk “Evaluasi 80 Tahun Kemerdekaan: Analisis Peran dan Posisi Perempuan dalam Pembangunan Nasional” untuk mengkaji kontribusi, tantangan, serta prospek perempuan dalam pembangunan bangsa. Menghadirkan narasumber dari kalangan akademisi, praktisi, hingga aktivis perempuan - diskusi interaktif ini dilangsungkan pada 14 Agustus 2025..
Berlangsung di Margasiswa III PMKRI Cabang Jakarta Timur, partisipan terlibat aktif. Para Pembicara diantaranya: Dieny Tjokrov - Mantan Duta Besar Ekuador 2016-2020; Okky Tirto - pengamat sosial dan budaya; Dawita Rama - Ketua Demisioner PMKRI Cabang Makasar; Ningsih Wiko, aktivis perempuan juga Lembaga Pemberdayaan Perempuan PP PMKRI 2023-2024), Rintis Susanti selaku Konsultan Gender sebagai penanggap serta dimoderatori oleh Vany Nabus - Presidium Hubungan Perguruan Tinggi PMKRI Jakarta Timur.
Diskusi difokuskan pada empat isu utama: Keseriusan negara dalam kesetaraan gender, patriarki dalam pembanguan:suara perempuan akar rumput,kebijakan pulik dan emansipasi, perempuan dalam pembangunan: capaian, tantangan, dan strategi inklusif.
Salah satu pembicara, Ibu Dieny Tjokro, menekankan pentingnya keterlibatan aktif perempuan dalam proses pembangunan nasional. Menurutnya, kehadiran perempuan dalam ruang-ruang pengambilan keputusan bukan hanya soal representasi, tetapi juga soal kualitas kebijakan yang dihasilkan.
“Peran perempuan sangat dibutuhkan dalam pembangunan, perempuan membawa perspektif yang berbeda dalam proses pengambilan keputusan dan memperkaya kebijakan yang lebih komperhensif dan memperhitungkan kebutuhan masyarakat” ujar dieny tjokro
Sementara itu, pengamat sosial budaya - Okky Tirto menyoroti fenomena keterwakilan perempuan di ranah politik, khususnya pasca Pemilu 2024. Menurutnya, meskipun secara kuantitatif jumlah perempuan di parlemen mengalami peningkatan, hal itu belum sepenuhnya mencerminkan perjuangan terhadap isu kesetaraan gender.
![]() |
| Para peserta dan narasumber terlibat dalam dialog interaktif, pemahaman akan keseteraan gender adalah kemendesakan untuk era sekarang - Foto: Pribadi |
Baca juga: PMKRI Jakarta Timur Kolaborasi dengan Kesbangpol Jakarta Timur
“Keterwakilan perempuan pada Pemilu 2024 memang meningkat secara jumlah saat ini ada 127 perempuan di parlemen. Namun, tidak semua dari mereka benar-benar merepresentasikan agenda kesetaraan gender. Setelah 80 tahun Indonesia merdeka, kesetaraan itu sendiri belum benar-benar terwujud,” pungkas Okky.
Pernyataan ini sekaligus menjadi refleksi kritis bahwa representasi perempuan dalam politik tidak hanya dilihat dari jumlah, tetapi juga dari seberapa jauh mereka membawa isu dan kepentingan perempuan dalam agenda pembangunan nasional. Hal senada juga disampaikan oleh Ibu Ningsih Wiko, salah satu pemateri dalam seminar. Ia menekankan bahwa pembangunan yang berkelanjutan tidak bisa dilepaskan dari prinsip inklusivitas dan partisipasi semua kelompok masyarakat, termasuk kelompok rentan.
“ Pembangunan itu harus inklusif dan melibatkan seluruh lapisan masyarakat, sampai pada kelompok-kelompok rentan seperti perempuan, penyandang disabilitas, masyarakat adat, dan kelompok marjinal lainnya,” ucap demisioner pengurus PP PMKRI 2022-2024.
Ningsih menilai pembangunan masih bersifat eksklusif atau hanya melibatkan kelompok dominan, maka kesenjangan akan terus terjadi, dan tujuan keadilan sosial sulit tercapai meski usia kemerdekaan terus bertambah. Soal gender equality, Dawita Rama menilai bahwa hambatan terbesar dalam mewujudkan kesetaraan gender masih sangat dipengaruhi oleh sistem patriarki yang mengakar kuat dalam struktur sosial maupun kebijakan publik.
“Patriarki menjadi tantangan terbesar dalam mewujudkan kesetaraan gender. Meskipun kita bicara tentang representasi perempuan, faktanya perempuan dari kelompok akar rumput masih sangat kurang dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan padahal merekalah yang paling terdampak oleh berbagai kebijakan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Tanpa pelibatan mereka secara langsung, kebijakan cenderung bias dan tidak menyentuh kebutuhan riil masyarakat,” jelasnya.
Adapaun sebagai penanggap, Rintis Susanti menyampaikan catatan kritis atas paparan para narasumber. Ia menekankan pentingnya melihat kesetaraan gender tidak hanya dari perspektif makro atau struktural, tetapi juga dari realitas keseharian masyarakat di tingkat akar rumput.
“Seminar ini mestinya juga melihat perspektif bagaimana PMKRI selama ini berupaya mengatasi ketidakadilan sosial dalam masyarakat. Yang paling penting hari ini adalah melihat kesetaraan gender di tingkat mikro, termasuk kerentanan yang dialami perempuan seperti diskriminasi dan marginalisasi,” jelasnya.
Rintis melanjutkan, kebijakan yang ingin mendorong keadilan gender harus mengadress persoalan di tingkat mikro secara langsung, agar tidak terjebak dalam retorika tanpa solusi yang menyentuh kehidupan nyata perempuan.
Dari rangkaian diskusi dalam seminar ini, para pembicara menyampaikan bahwa mewujudkan kesetaraan gender dalam pembangunan nasional memerlukan pendekatan yang menyeluruh, lintas sektor, dan berkelanjutan. Seminar ini diharapkan dapat menjadi ruang reflektif dan strategis untuk memperkuat peran perempuan dalam pembangunan ke depan. Hasil dari diskusi ini direncanakan akan dirangkum menjadi rekomendasi kebijakan yang mendorong pembangunan yang lebih adil, setara, dan inklusif.


Posting Komentar untuk "Kemerdekaan Perempuan Indonesia, Apa Saja Mispersepsi Selama Ini?"