Bendera yang Robek di Layar Lebar

Poster Film Animasi Merah Putih: One For All yang belakangan ramai diperbincangkan - Foto: Internet
Ada satu pertanyaan yang terus mengganggu pikiran saya sejak menonton trailer Merah Putih: One For All: Apakah kemerdekaan yang kita rayakan setiap 17 Agustus juga berarti kemerdekaan untuk memproduksi karya setengah matang lalu memamerkannya di panggung utama bangsa, hanya karena di judulnya ada kata “Merah Putih”?
Film ini adalah paradoks kemerdekaan kultural Indonesia. Di satu sisi ia mengusung tema nasionalis bendera, peringatan kemerdekaan, simbol-simbol perjuangan yang seharusnya membangkitkan rasa bangga. Namun di sisi lain, ia menampilkan kualitas produksi yang bahkan kalah dibandingkan karya mahasiswa animasi di beberapa kampus seni. Kontradiksi ini tidak hanya mengundang tawa getir, tapi juga mengungkap persoalan mendasar yaitu di negeri ini, kualitas bukan tiket masuk ke panggung utama, yang penting adalah dua hal jejaring kekuasaan dan keberanian menempelkan simbol negara di poster.
Oligarki Budaya: Jaringan Lebih
Penting dari Karya
Kita sering berbicara tentang oligarki politik segilintir elite yang menguasai kekuasaan negara. Namun jarang yang membicarakan oligarki budaya: sekelompok kecil produser, kurator, dan pengendali distribusi yang menentukan karya mana yang tayang dan karya mana yang terbuang. Pierre Bourdieu, dalam teorinya tentang modal budaya, menjelaskan bahwa akses ke panggung seringkali ditentukan oleh modal sosial siapa yang Anda kenal, bukan apa yang Anda buat. Merah Putih: One For All adalah ilustrasi konkret.
Produsernya adalah veteran industri, punya riwayat di badan-badan
strategis perfilman nasional, dan memahami jalur pintas kekuasaan. Pengetahuan
ini bukan hanya soal seni, tetapi soal siapa di kementerian yang bisa memberi
audiensi, siapa di jaringan bioskop yang bisa mengatur slot tayang, dan siapa
di media yang bisa memoles narasi. Di negeri yang slot layar bioskopnya
terbatas, akses adalah segalanya. Di sini, meritokrasi hanyalah mitos untuk
brosur kampus, bukan realitas industri.
Harus diakui bahwa ketika kemampuan teknis lemah, simbol menjadi kosmetik. Kata “Merah Putih” di judul berfungsi seperti tameng. Ia mengundang asosiasi emosional yang kuat: perjuangan, pengorbanan, kemerdekaan. Strategi ini bekerja bukan hanya di ranah seni, tetapi juga di ranah politik. Noam Chomsky mengingatkan dalam Manufacturing Consent, simbol publik sering digunakan untuk membungkam kritik, karena siapa pun yang mengkritik akan dicap “tidak nasionalis” atau “tidak cinta bangsa.” Masalahnya, ketika kritik terhadap kualitas muncul, reaksi yang diberikan adalah defensif, bukan introspektif.
Adegan senjata AK-47 di Balai Desa dijelaskan sebagai “properti pentas.” Angka Rp 6,7 miliar yang sebelumnya diunggah oleh produser lain tiba-tiba “tidak diketahui” oleh produser utama. Foto audiensi dengan Wakil Menteri Ekonomi Kreatif dijadikan pajangan sebelum kemudian dijelaskan “tidak ada dana publik.” Ini adalah politik komunikasi yang membingungkan. Narasi dukungan pemerintah beredar di awal, lalu dibantah ketika kritik memuncak. Negara mungkin benar-benar tidak memberikan dana, tetapi membiarkan simbol nasional dipinjam tanpa klarifikasi sejak awal adalah bentuk kelalaian politik budaya.
Negara yang Tidak Memiliki Strategi
Kebudayaan
Salah satu penyakit lama republik ini adalah absennya grand strategy kebudayaan. Kita punya undang-undang perfilman, kita punya kementerian, kita punya festival, tetapi kita tidak punya mekanisme yang memastikan dana, fasilitas, atau bahkan simbol negara hanya digunakan untuk karya yang lolos standar mutu. Hasilnya, bendera negara bisa dipasang di proyek apa pun, bahkan yang secara teknis jauh di bawah standar.
Sementara itu,
ratusan animator muda yang punya potensi justru terpinggirkan karena tidak
memiliki jejaring politik. Dalam teori Antonio Gramsci, ini adalah bentuk hegemoni
kultural: kekuasaan menentukan selera publik dengan memberi panggung pada
karya yang mereka pilih, bukan karya yang secara objektif bermutu. Hegemoni ini
bekerja halus, dibungkus oleh narasi nasionalisme, dan disokong oleh media arus
utama.
Distribusi film di Indonesia adalah pasar terbatas. Bioskop besar menguasai mayoritas layar, dan mereka memilih film berdasarkan kalkulasi keuntungan. Slot tayang di musim kemerdekaan, khususnya menjelang 17 Agustus, adalah panggung emas. Ketika slot ini diisi oleh karya lemah, kita mengalami opportunity cost: satu film buruk menyingkirkan kemungkinan bagi karya lain yang mungkin lebih layak secara artistik dan lebih relevan secara budaya. Ini bukan sekadar masalah selera, ini masalah politik distribusi siapa yang punya kuasa memutuskan karya mana yang ditayangkan kepada publik.
Refleksi untuk Generasi Muda
Sebagai mahasiswa yang hidup di organisasi, saya melihat Merah Putih: One For All bukan sekadar film animasi gagal. Ia adalah cermin politik kebudayaan kita: simbol negara digunakan sebagai alat legitimasi, jejaring menggantikan meritokrasi, negara absen dalam seleksi mutu, dan kritik dibungkam dengan narasi nasionalisme. Generasi muda tidak boleh melihat kasus ini hanya sebagai gosip industri film. Ini adalah pelajaran tentang bagaimana kekuasaan bekerja di sektor kreatif.
Jika kita diam kita mengizinkan kemerdekaan
hanya menjadi milik mereka yang punya modal sosial dan politik, sementara
rakyat biasa hanya menjadi penonton secara harfiah dan metaforis. Rocky Gerung
mungkin akan menutup dengan kalimat: “Film ini membuktikan bahwa di republik
ini, yang lulus bukan yang mengerjakan ujian dengan benar, tapi yang tahu kunci
jawaban sebelum ujian dimulai.” Dan saya hanya ingin menambahkan: Merah Putih
memang milik semua, tapi jangan jadikan ia selimut untuk menutupi karya
medioker. Sebab kemerdekaan bukan hanya hak untuk berkarya, tetapi juga
kewajiban untuk berkarya dengan layak. Bendera kita terlalu berharga untuk
dijadikan kosmetik bagi kemalasan berpikir.
#Pro Ecclessia et Patria
Posting Komentar untuk "Bendera yang Robek di Layar Lebar"